Ketika seorang anak kecil menorehkan garis dan lekak-lekuk di atas kertas, ia tidak sekedar melampiaskan perasaannya, tetapi juga menggambarkan refleksi atas dunia dan alam sekitarnya. Dipacu oleh emosi dan kemampuan berpikirnya, mustahil seorang bocah dapat hidup di dalam dunianya sendiri, tanpa pengaruh dan eksistensi dari lingkungan sekitarnya. Di dalam perbicangannnya dengan orang tuanya, seorang anak tak henti-hentinya bertanya: ‘apa itu’, ‘kenapa begitu’, ‘siapa itu’, ‘terus..?’ Di dalam dirinya berkecamuk tanda tanya dan teka-teki yang membuatnya ingin menyelami keberadaan ‘apa dan siapa pun’ yang turut membentuk dirinya. ‘Apa itu’, ia bertanya, menginginkan sebuah jawaban atas pertanyaan akan identitas orang-orang yang mengelilinginya, walaupun secara verbal ia belum mampu mengungkapkannya.
Dalam keingintahuannya, sang anak telah berdialog dengan dunianya. Ia bertanya kepada dirinya sendiri akan hal-hal yang menarik perhatiannya namun tak dimengertinya, kemudian setelah mampu melafalkan kata-kata, ia mulai melanjutkan dialog tersebut dalam tingkatan yang lebih tinggi pada individu dan lingkungannya.
Hal yang sama pun terjadi pada manusia dewasa. Karena akal dan budinya seseorang (dalam keadaan normal) secara instingtif berpikir tentang keberadaannya. Walaupun jarang diucapkan dalam perbincangan sehari-hari, namun manusia sebenarnya tak pernah berhenti bertanya akan ‘siapa aku, ‘kenapa harus begini’, ‘kapan aku bisa seperti dia’, dan segala macam pertanyaan yang berkaitan dengan eksistensi dirinya. Walaupun dialog tersebut lebih bersifat imajinatif (tak terucapkan), namun perbincangan tersebut merupakan pengejewantahan paling dasar perbincangannya dengan sesama dan lingkungan sekitarnya.
Dialog seringkali diinterpretasikan sebagai perbincangan dua arah antara dua pihak. Manusia melupakan, bahwa ketika ia berdialog dengan lawan bicaranya, ia juga berbicara pada dirinya sendiri. Manusia selalu memulainya dengan perbincangan internal (perbincangan dengan alam dan dirinya sendiri), namun apa yang ia renungkan tak mungkin berakhir dalam pikiran saja, namun secara nyata menghasilkan buah (pikiran / renungan) yang dapat berupa wujud gerakan / gestur alamiah tubuh (luapan amarah, tawa, tangisan), juga wujud pemikiran yang tertuang dalam bentuk teraba (perbincangan, karya seni, tulisan).
Dalam hal ini, perilaku sosial manusia / pelakunya, dialog dapat dibagi menjadi: dialog internal individu, merupakan dialog perenungan awal yang dilakukan manusia dalam merespons keadaan sosial di sekitarnya, dan dialog eksternal antar individu, yang merupakan dialog di tahap selanjutnya, yaitu tahap di mana seseorang mulai membutuhkan output atas perenungan (dialog) di yang bergumul dalam dirinya.
For it is certain that a work of art has nothing to prove ‘socially’, it is certain that it must be human: a lesson.
Tema ‘dialog’ telah cukup sering diangkat menjadi tema dalam eksibisi-eksibisi seni dan juga program acara pada film-film festival di dalam maupun luar negeri. Di saat perang antar agama, ras dan golongan terus berkecamuk di seluruh penjuru dunia, sebagian orang yang masih merindukan adanya persatuan dan kedamaian tak henti pula menyerukan keprihatinannya. Banyak para seniman (pelukis, pematung, sastrawan, pekerja film) yang kini semakin merasa betapa vitalnya peranan mereka dalam menjembatani dialog antar masyarakat dan juga antara masyarakat dengan para penguasa yang kini semakin menjurang. Lalu di manakah sebenarnya letak dan kedudukan seni dalam masyarakat?
Sejak abad 20 dimulai, ketika politik dan kehidupan sosial menjadi lebih terbuka di dunia yang menjunjung tinggi modernitas dan ketransparanan, seni tidak lagi dinilai sebagai medium ekspresi para senimannya dalam menghasilkan karya estetis belaka. Sejak saat itu mulai bermunculan karya-karya seni yang diangkat sebagai manifesto politis para seniman/golongannya dalam melawan kekuasaan. Dalam hal ini, sebuah lukisan, misalnya, tidak lagi hanya dipandang sebagai sebuah dekorasi ruangan yang indah menawan, namun juga sebagai penggerak kehidupan intelektual masyarakatnya. Bahkan sejak munculnya modernisme, tidak jarang kita temukan gerakan-gerakan anti-estetis / anti-fasade dalam seni. Tugas utama yang diemban bidang seni bukan lagi untuk mengemukakan keindahan saja, namun juga kebenaran. Kebenaran macam apakah yang dicari di dalam seni? Bukankah kebenaran bisa saja merupakan kebohongan yang berkedok ‘kebenaran’?
Di sinilah, dialog berperan. Kejujuran seorang seniman dalam melihat diri dan gejolak di sekitarnya menjadi awal ‘perbincangan’nya dengan karya yang ia hasilkan. Hal tersebut sekaligus akan menciptakan dialog yang berkesinambungan antara sang seniman sebagai individu dengan masyarakatnya. Dalam hal ini seniman tidak lagi berperan sebagai ‘pesolek’ yang menghibur, namun lebih dari itu ia justru harus dapat mengungkapkan kebenaran akan kecantikan/ketidakcantikan, kebaikan/ketidakbaikan, sekaligus secara simultan mempertanyakan keberadaan konsep tersebut.
Dalam karya-karya yang terbuka dan kritis pula lah, seni berdialog. Dalam suatu wawancaranya, Lenin pernah mengungkapkan pemikirannya tentang seni: Seni adalah milik masyarakat. Ia harus dapat direngkuh dan dicintai oleh kita semua. Ia harus dapat mempersatukan gejolak emosi, pikiran dan idealisme masyarakat, sekaligus mengembangkan segi intelektual masyarakat ke tingkat yang lebih tinggi. Keberhasilan ini akan menciptakan dialog yang lebih terbuka antara seniman dan masyarakat luas, dan bersama mereka menciptakan sebuah seni baru yang lebih dewasa.
Dialog yang terbuka ini kini semakin dimungkinkan dengan kehadiran teknologi yang bermunculan tepat di tengah-tengah masyarakat. Dengan berkembangnya teknologi pula, medium interaksi masyarakat pun menjadi semakin beragam. Dengan adanya SMS, e-mail, internet chatting, kini kita menjadi lebih terbiasa ‘mengirimkan pesan tertulis’ ketimbang ‘menyampaikan pesan secara langsung’. Bahkan seseorang pun dapat menyatakan uneg-uneg dan bahkan cintanya dengan cara-cara baru yang diciptakan oleh media (melalui reality show di TV, atau on air di radio). Hal-hal tersebut di satu sisi memang dapat dinilai sebagai wadah ‘pemerkosaan’ kehidupan pribadi seseorang, namun di lain sisi, apabila kita cermati, media-media terbuka semacam ini pun sebenarnya membuka kesempatan bagi masyarakat untuk secara kritis berdialog, mengungkapkan perenungannya ke tingkat yang lebih tinggi dan luas.
Film, video (motion picture), sebenarnya adalah adegan realitas yang dikemas kembali (direproduksi) menjadi sebuah tayangan. Ketika kita menonton film atau bahkan tayangan sinetron di TV, tidak jarang kita hanyut dalam penuturannya. Kita seringkali tersentuh karena pada saat yang sama kita pun turut berdialog, mengasosiasikan kejadian dan penokohan pada film dengan kehidupan nyata kita. Kekuatan film seringkali memiliki daya hipnotis yang membuat kita masuk ke dalam dunia simulasinya.
Apabila dibandingkan dengan medium seni yang lain (lukisan, patung, seni instalasi, musik, sastra), film merupakan medium yang –karena unsur visualnya yang bergerak– paling mudah dapat diserap orang masyarakat luas. Film, bergerak dari hakikatnya sebagai sebuah medium penggambaran (sinematografi), kini menjadi medium penceritaan yang berkemampuan luar biasa, sehingga tidak jarang kita mendapati film-film propaganda yang secara politis dibuat untuk kepentingan ‘penggerakan’ massa. Dalam film-film semacam ini, dialog yang terjadi hanyalah satu arah. Dengan daya hipnotisnya, masyarakat didikte akan suatu idealisme yang meneror, melumpuhkan kemampuan berpikir, dan yang berusaha untuk ‘mempersatukan’ mereka dengan paksa.
Dan malangnya, betapa memang rentan dan mudahnya manusia terpengaruh. Dengan semakin mudahnya aksesibilitas komunikasi di jaman ini, semakin mudah pula timbul perpecahan dan kesalahpahaman di antara kita. Hal tersebut dipacu oleh tendensi perilaku manusia yang selalu merindukan pembaruan dan perbedaan, di mana semakin banyak persamaan yang ada di antara kita, akan semakin tinggi pulalah hasrat manusia untuk mencari ‘pembeda’, yang dapat menghancurkan homogenitas tersebut.
Dan di sini lah, kekritisan dunia seni diuji. Sebuah karya, sebenarnya baru dapat dikatakan ‘berhasil’ apabila ia mampu menciptakan dialog dua arah antara pembuat-penikmat, penikmat-penikmat. Dan keberhasilan itu akan mencapai tingkat yang lebih tinggi lagi, apabila karya tersebut kemudian mampu menjadi bahan refleksi dalam dialog internal para penikmatnya, apabila mampu membuat kita merenung: sebuah reaksi intelektual yang tentunya tidak akan tumbuh dalam diri kita, tanpa usaha pengasahan: keterbukaan pikiran dan keingintahuan yang mendalam. [Ariani Darmawan]
Leave a Reply