Room XX: Miquel Barcelo

Dua tahun lalu, ketika Miquel Barcelo pertama kali diminta membuat karya seni di Balai Kemanusiaan dan Peradaban PBB, ia mungkin berteriak dalam hati, “Yayy, I could finally beat that Michelangelo sonuvabitch”. Atau mungkin, “Damn, another commissioned crap!”. Tapi yang pasti, di tengah 25 bulan proses pembuatan karya berupa ‘patung stalaktit’ di langit-langit ruangan seluas 929 meter persegi ini, Barcelo disadarkan kembali bahwa seni tidak (bisa) sekadar punya fungsi. Ia selalu berhubungan dengan moral. Hanya saja, moral macam apa.

Sang artis mengakui bahwa karyanya ini terinspirasi oleh fresco Sistine Chapel milik Michelangelo. Bedanya, dengan bujet sebesar 285 miliar rupiah (20 juta euro), ia langsung menerima tawaran PBB. Sedangkan Michelangelo konon sempat menolak tawaran Paus Julius ketika diminta menggambarkankan 12 figur di langit-langit Sistine Chapel. Michelangelo menggunakan alasan klasik seniman: ‘kurang menantang’. Mungkin karena dirasa kurang menentang, alasannya berujung pada dalih ‘gua kan pematung, bukan pelukis’. Paus pun akhirnya pasrah menyerahkan keputusan pada seniman rewelnya. Di ujung cerita, dengan kebebasan tak berbatas yang ia dapat, Michelangelo menyelesaikan proyek fresco tersebut dalam waktu 4 tahun dengan melukis lebih dari 300 figur.

Franco S. Origlia/Getty Images

300 figur Michelangelo yang ia ambil dari tokoh-tokoh Kitab Kejadian (bersama dayang-dayang dan para malaikatnya) secara gamblang diubah oleh Barcelo menjadi ribuan stalaktit beraneka warna (dengan 100 ton cat yang pigmennya ia peroleh dari seluruh penjuru dunia).

Walaupun kedua karya mahabesar tersebut sama-sama tergantung di langit-langit (dan sama-sama bikin kepala orang pegal mendongak), ada satu perbedaan menonjol antara keduanya: karya kontemporer Barcelo mengangkat imaji akan alam sedangkan karya abad pertengahan Michelangelo dihiasi oleh figur-figur surgawi. Di jamannya masing-masing, fungsi Sistine Chapel dan Balai Kemanusiaan PBB sama pentingnya. Hanya dahulu, keputusan-keputusan terpenting dibuat di dalam bait Allah, kini, keputusan-keputusan itu ada di tangan manusia. Dan manusia jaman ini, lebih tunduk pada kuasa alam, ketimbang hikayat para nabi dan orang suci. Siapa yang tidak takut dan tunduk melihat stalaktit-stalaktit menggantung di atas kepalanya? Selain boros, Barcelo memang cukup humoris.

Tentang konsep karyanya, Barcelo menjawab, ‘Gua adalah metafor dari agora, tempat manusia pertama kali mengadakan pertemuan, layaknya sebuah pohon Afrika di mana di bawahnya manusia duduk dan berbincang. Saya yakin bahwa masa depan kemanusiaan ada pada dialog, dan penghargaan kita atas hak asasi manusia’.

Agak absurd sebenarnya bicara tentang hak asasi manusia dengan begitu besarnya bujet yang dikeluarkan untuk proyek ini. Bahkan katanya, 60% bujet proyek ini berasal dari dana bantuan untuk misi kemanusiaan PBB. Dengan ego seorang seniman, Barcelo tentunya akan terus membuat pembenaran. Dengan keindahan semacam itu, pengunjung (termasuk saya siapa tau, suatu hari) juga dengan mudah bikin semacam pelurusan.

Karya seni macam apa lagi yang bisa membuat cicak-cicak di dinding takjub?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *