
Dalam satu bulan ini, saya diundang ke dua buah acara film, Freedom Film Festival di Kuala Lumpur, dan Asian Film Symposium di Singapura. Keduanya saya pikir adalah model ideal dari sebuah festival: suasana yang intim, di mana diskusi antar pembuat dan penonton masih terjalin dengan baik, sederhana namun rapi dalam pelaksanaan (tepat waktu, tepat sasaran/audiens, ini berarti tepat pemasaran), serta program yang fokus dan mendalam dalam tema. Tentunya ini berhubungan dengan alasan utama sebuah festival film diadakan, yaitu untuk menjalin hubungan ‘persaudaraan’ antara film (pembuat film) dan penontonnya. Hal ini diusung baik oleh festival-festival pemula yang selalu utopis dalam cetak biru, namun dijamin pudar ketika berkembang dalam kuantitas program dan pencapaian jumlah audiens. Akhirnya, film-film festival besar tidak lagi berhasil membuat film-film yang ditayangkannya meraih audiens yang tepat. Lupakan sarasehan antara sesama pembuat dan penikmat film, karena dalam skala geografis yang gigantik, mereka yang datang biasanya sudah terlalu lelah bersosialisasi demi mengejar film dari satu bioskop ke bioskop lainnya.
Saya jadi ingat ribut-ribut MFI (Masyarakat Film Indonesia) ‘mengganyang’ FFI (Festival Film Indonesia) dua tahun lalu. MFI bukannya menolak keberadaan FFI, namun untuk apa sebuah festival diadakan hanya untuk membagikan gebyar penghargaan tanpa adanya apresiasi timbal balik antara pembuat dan penikmat film? Jelas dalam ajang macam FFI ataupun Academy Awards, film hanyalah sekeping komoditas. Bagaimana tidak, dalam ajang-ajang semacam itu bukannya film-filmnya yang dipasang, tapi hanya judul film plus pajangan keglamoran banci-banci tampilnya saja (Dalam undangan FFI 2005 ditulis: “Busana: Glamour”). Ok lah untuk film-film panjang yang dianggap sudah sempat ditonton oleh penikmatnya di bioskop-bioskop komersil, tapi bagaimana dengan penayangan film-film pendek dan dokumenter yang tidak memiliki akses cukup luas bagi penikmatnya? Bukankah tugas festival justru adalah mensosialisasikan film-film semacam ini, dan terutama membuka forum dialog antar pembuat dan penontonnya?
Freedom Film Festival dicetuskan oleh sebuah LSM bernama Pusat Komas (singkatan dari Pusat Komunikasi Masyarakat) yang berpusat di Kuala Lumpur. Misi mereka jelas, yaitu menginformasikan isu-isu yang selama ini tabu dibicarakan dalam masyarakat Malaysia. Film-film bertemakan HAM (baca: diskriminasi SARA) yang dipasang non stop dari jam 11 pagi hingga 9 malam berhasil mendobrak mata dan pikiran saya sekaligus: mulai dari The Black Road karya sutradara William Nessen yang bercerita tentang kekejaman TNI pada rakyat Aceh (film ini dibanned di JiFFest tahun lalu), film Pecah Lobang karya Poh Si Teng yang mengilustrasikan suka duka perjuangan para transvestite hidup di sebuah negara Islam, hingga What Rainforest? garapan Hilary Chiew dan Chi Too tentang perebutan lahan rakyat di Sarawak oleh pemerintah dan perusahaan swasta untuk (TENTUUU) dijadikan ladang kelapa sawit. Gilanya, 60 persen perusahaan swasta tersebut konon adalah perusahaan swasta Indonesia. Ah.. Salahkanlah orang-orang rakus tanpa otak dan hati itu jika kita akhirnya dicemooh sebagai ‘Indon’.
Setelah setiap pemutaran, nara sumber yang diundang lalu diajak berdiskusi dengan para penonton. Saya kagum melihat penonton Kuala Lumpur selalu memadati Annexe Theatre dan tidak pernah lelah mengikuti diskusi setelah setiap pemutarannya. Di sini pertukaran wacana antar budaya bahkan antar individu terjadi. Sungguh sebuah pemandangan yang membuat saya bersyukur medium film pernah diciptakan. Datang ke acara semacam ini saya menjadi lebih yakin bahwa, jika mau peduli, kita tidak pernah sendiri.
Asian Film Symposium yang diselenggarakan oleh Substation tahun ini memasuki penyelenggaraannya yang ke-8. Berbeda dengan Freedom Film Fest, fokus AFS lebih pada showcase film-film Asia dengan pencapaian tertentu. Selain untuk mempererat jaringan perfilman di Asia, awalnya AFS diadakan untuk menggali potensi para programmer film di Asia. Namun sejak 3 tahun terakhir ini, AFS juga mengundang para pembuat film untuk turut berbagi pengalaman. Highlight dalam AFS adalah S-Express, sebuah jaringan program film pendek yang melibatkan Malaysia, Indonesia, Singapura, Filipina, Thailand, Hongkong, RRC, dan Taiwan. Di luar itu, diadakan pula program-program spesial semacam producer’s workshop dan film financing forum.
Kedua forum tersebut bisa jadi terdengar kadaluarsa. Hampir setiap festival film mengangkat tema ini dalam setiap workshopnya. Bila tidak harus berada dalam panel forum, besar kemungkinan saya lebih memilih jalan-jalan di bawah terik matahari. Namun jika dipikir-pikir lagi, keinginan menghindari forum semacam ini bukan karena saya bosan mendengar keluhan dan solusi yang sama yang terus-menerus dilontarkan, tapi lebih karena itu semua membuat saya semakin sadar betapa beratnya perjuangan membuat film.
Dalam kesempatan itu saya sungguh beruntung bisa mendengar banyak cerita dari programmer maupun filmmaker asam-garam Asia, mulai Alexis Tioseco dan Rayya Martin dari Filipina, Chalida Uabumrungjit dari Thailand, Angie Chen dan Jessie Tseng dari Hong Kong, hingga Maggie Lee yang bermukim di belahan dunia mana pun. Saya dan Varadila mewakili Indonesia. Satu demi satu pembicara berbicara tentang pengalamannya di negeri masing-masing. Ternyata, hampir semua negara memiliki film commission yang secara berkala menyokong gairah muda-mudinya membuat film, walau beberapa memiliki regulasi yang sangat aneh: misalnya pemerintah Filipina akan berbalik mendenda pembuat film yang telat tenggat, juga pemerintah Thailand yang mencicil uang produksi dan seringkali sok-sok ‘lupa’ melunasi di akhir periode. Tapi lumayanlah, ketimbang Indonesia yang sama sekali tidak punya film commission. Setahu saya Depbudpar memiliki program sayembara penulisan skenario dengan tema budaya, namun sayangnya selalu gagal dalam produksi dan distribusi. Coba cari dan tonton saja Anne van Yogya.
Semakin maju sebuah negara, semakin mudahlah para muda-mudi merogoh saku pemerintah mereka dalam membuat film. Singapura punya Singapore Film Commission yang satu tahunnya bisa mengucurkan dana untuk 5 film panjang dan puluhan film pendek. Hong Kong bahkan punya Arts Council yang mampu menyokong puluhan senimannya untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Selain bicara tentang peran pemerintah, masing-masing pembicara lalu mengajukan model-model pendanaan film di negaranya. Mereka yang terjun ke dunia film mungkin sudah sering mendengar tentang dana-dana yang dikucurkan oleh festival-festival film bagi skenario pilihan, yang paling beken tentunya Hubert Bals Fund dari International Film Festival Rotterdam (ini khusus untuk negara berkembang) dan Asian Film Fund dari Pusan International Film Festival. Juga The Global Film Initiative dan Sundance Screenwriter’s Lab di AS. Filmmaker kita boleh bersyukur bisa mendapatkan privilege ‘khusus Indonesia’ dalam JiFFest Script Development Competition. Namun model pendanaan di atas yang berkisar di 10.000 USD seringkali hanya mampu menghidupi si penulis untuk menyelesaikan skenario, atau meringankan beban fase-fase pendanaan awal produksi film mereka. Setelah itu, tentunya sang pembuat film harus pontang-panting lagi mencari kucuran duit sana-sini. Inilah fase tersulit, karena lupakan PH-PH besar yang enggan melirik skenario-skenario berkiblat non-pasar.
Saya lalu sedikit berkisah tentang bagaimana trendinya film di Indonesia saat ini. Bahwa ketika banyak perusahaan swasta ingin menggunakan film sebagai alat promosi mereka, seharusnya kita bisa menunggangi balik kepentingan mereka itu. Ini memang jamannya azas simbiosis mutualisme, bukan parasit. Apalagi parasit terbang. Kalau saja di Indonesia masih belum terlalu banyak perusahaan swasta atau yayasan yang menoleh pada film, adalah tugas para pembuat dan produser film untuk membuka kanal tersebut, mengolah ide mereka hingga bisa ‘nyambung’ dengan ideologi perusahaan atau yayasan tertentu. Tentunya ini bukan berarti filmmaker harus membabukan diri. Saya percaya bahwa semua orang punya kepentingan, dan satu-dua agenda bisa dijalankan dalam visi yang sama.
Saya pun sedikit angkat bicara tentang proyek 9808 (kumpulan 10 film pendek – Antologi 10 Tahun Reformasi Indonesia). Entah mengapa, saya benar-benar merasa bahwa proyek omnibus semacam 9808 (yang notabene sepenuhnya self-funded) adalah proyek masa depan film Indonesia, bahkan Asia. Beberapa kali saya mendengar curhatan dari teman-teman sesama pembuat film yang mengutarakan bagaimana 9808 memberikan harapan baru bagi perfilman nasional kita. Saya yang mudah terharu ini menjadi sedikit hiks-hiks. Syukurlah kalau bisa jadi inspirasi.
Dalam forum, Chalida menambahkan bahwa dalam merancang sebuah program film pendek, ia selalu kesulitan memasukkan film-film tersebut dalam sebuah tema besar. Dan oleh karenanya program yang ia rancang seringkali tidak diindahkan oleh venue-venue: bioskop ataupun festival film. Lain halnya dengan proyek omnibus yang biasanya mengusung sebuah tema besar, sehingga lebih mudah membidik venue dan audiens yang tepat. Kami memang tidak mendesain 9808 sebagai sebuah karya for-the-sake-of-film, tapi lebih sebagai medium pembuka dialog. Dan di sinilah skema distribusi menjadi sangat penting. Antologi yang muncul Mei 2008 kemarin ini masih akan terus berkeliling ke berbagai belahan dunia dan Nusantara, sebelum akhirnya suatu hari nanti didistribusikan via DVD (bahkan mungkin dalam bentuk lainnya, musik, tulisan?). Benar kata Prima Rusdi (induk semang proyek 9808 yang dinaungi oleh Proyek Payung ini) yang mengatakan bahwa rantai hubungan antara pembuat film dan penikmatnya akan memudar begitu ia didistribusikan dalam bentuknya yang individu (baca: DVD/home movie).
Ujung-ujungnya, forum semacam ini selalu membuat saya bertanya pada diri sendiri: untuk apa saya membuat film? Pertanyaan sok reflektif ini diperkuat dengan kegemasan saya setelah habis menonton program film pendek dari Thailand dan Malaysia, yang rata-rata menggambarkan sosok-sosok individu Asia kesepian melanglangbuana tanpa kejelasan plot, dan seringkali berakhir dengan kematian. Saya jadi ingat kembali pengalaman saya menonton program Asian Shorts di beberapa festival internasional, film-film yang dipajang selalu sukses membuat saya depresi dan (hampir) ingin bunuh diri. Dalam kesempatan berdiskusi di AFS kemarin, saya bertanya lantang, FENOMENA MACAM APAKAH INI? Apakah benar hasrat bunuh diri orang Asia sebegitu tingginya? Atau itukah cara Barat memandang Timur?
Saya cukup kaget mendengar penjelasan Chalida. Ia bilang, “Salahkanlah programmer festival, terutama festival di negeri barat, karena mereka selalu memilih film-film semacam itu. Saya selalu menyertakan film-film ceria dengan banyak dialog, tapi hampir tidak pernah dilirik”.
Ohh… begitu malang. Juga begitu jelas. Seketika saya mendapatkan gambaran akan politik kotor festival-festival film. Sebegitu eksotisnyakah kesunyian dan kesedihan orang-orang Timur? Begitu rendahnya-kah orang-orang Asia sehingga rela didefinisikan dengan begitu superfisialnya oleh orang-orang Barat? Dan sadarkah kita bahwa dengan membuat film-film semacam itu kita turut mendefinisikan diri sebagai manusia Timur yang lemah, suicidal dalam ideologi? Saya jadi teringat sekitar dua tahun lalu saya, Budi, dan Tumpal menertawakan fenomena bermunculannya tormented artist di sudut-sudut kota besar Indonesia. Jaman macam apakah yang memberi tempat pada seniman-seniman pathetic yang hanya bisa mengasihani kehidupannya sendiri? Jangan salahkan siapa-siapa jika negara ini tidak bisa maju karena individu semacam itu tidak hanya berkeliaran bebas, namun juga diekspos dengan lampu watt terbesar. Ah, jika kesepian dan penderitaan begitu seksi, saya ingin berpesta dan tertawa semalam suntuk.
Leave a Reply