Membaca Kota Lewat Festival Film

Tanggal 11-21 Februari 2010 yang lalu, berkenaan dengan diadakannya Berlin International Film Festival (Internationale Filmfestpiele Berlin –atau sering disingkat: Berlinale) di Jerman, saya diundang oleh Goethe Institut/Federasi Jerman bersama 25 teman dari 23 negara di seluruh dunia. Benar-benar sebuah pengalaman yang seru dan berguna.

Saya salut pada program yang dibuat oleh Simon Haag dari Goethe Institut Jerman. Sebelum berangkat, saya cukup kaget melihat daftar program yang padat, ah kapan pula saya bisa menyempatkan diri menonton film. Bukankah Berlinale identik dengan menonton film? Tapi ternyata semua program yang dibuat tersebut optional, alias, boleh diikuti, juga dibolosi. Hanya ada satu hari ‘wajib’ di mana kita bertemu dengan orang-orang penting, yaitu para programmer utama Berlinale (yang akan saya bahas lebih lanjut), dan orang penting film dalam pemerintahan Jerman (mungkin ekuivalen dengan Dirjen Budpar di sini). Hari-hari sisanya, kami dibiarkan bebas berkelana, boleh menonton, boleh jalan-jalan, tidur berlama-lama di kamar hotel pun silakan (biasanya berakhir dengan penyesalan).

Saya, memilih untuk sebisa mungkin terus mengikuti program Goethe. Berkali-kali mereka mengatakan, betapa beruntungnya kita. Bahwa tidak semua orang bisa mengikuti program ini, mendatangi tempat-tempat dan bertemu orang-orang penting (yang mayoritas tentunya berhubungan dengan perfilman Jerman).

Halo, nama saya..
Saya terbang dari Jakarta bersama Alex Sihar dari Konfiden (yang sama-sama baru sekali mengunjungi Berlin). Layaknya baru brojol, kami mendarat dengan mata agak ‘berkabut’. Selain udara dingin yang lumayan bikin kaget, badan saya juga masih penat oleh duduk-terus-sungkan-berdiri-karena-dapet-window-seat. Layaknya hari pertama bertemu teman-teman baru, kami habiskan dengan percakapan basa-basi perkenalan, bertukar-tukar kartu nama. Teman-teman baru saya ini berasal dari: Korea Selatan, India, Pakistan, Mongolia, Mesir, Sudan, Togo, Afrika Selatan, Pantai Gading, Algeria, Tunisia, Beirut, Iran, Yordania, Estonia, Belarus, Rusia, Bolivia, Peru, Chile. Dengan begitu beragamnya teman-teman baru yang pastinya pintar-pintar ini, saya hanya berpikir “Aha, inilah kesempatan mengelilingi dunia dalam 11 hari!”

Di hari pertama orientasi, kami diberi penjelasan detail akan keseluruhan program, mulai isi program hingga penjelasan tentang sistem ticketing Berlinale. Kami semua diberi akreditasi khusus hingga berhak untuk menonton semua film di Berlinale dengan gratis (kecuali film undangan khusus), namun kami tetap harus memesan tiket terlebih dahulu, di mana minimal pengantrian adalah satu hari in advance (contoh: untuk film-film hari Selasa, kami bisa mengantri di hari Senin).

Di hari yang sama kami juga memperkenalkan diri masing-masing secara profesional; rata-rata para undangan berprofesi sebagai pembuat film, programmer film festival, pemilik ruang eksibisi film (bioskop, ruang seni/budaya), akademisi film, dan jurnalis film. Dua orang teman yang perlente dan anggun, (tentunya) adalah aktor film. Selain para tamu, ada 4 orang escort yang luar biasa sigap, ramah, dan seru: Martin dan Anna yang asli Jerman, Nicolas yang keturunan Argentina, dan Natalija asal Ukraine. Kesemuanya lancar berbahasa Inggris dan Jerman, bahkan masing-masing bisa berbicara dalam 2-3 bahasa lainnya. Sayangnya orang seperti saya, hanya bisa menggunakan satu fitur bahasa selain bahasa Ibu.

Potsdamer Platz
Petualangan kami dimulai dengan mendatangi pusat Berlinale yaitu Potsdamer Platz. Sulit dibayangkan bahwa area yang sekarang penuh sesak (terutama ketika Berlinale berlangsung), 20 tahun lalu masih kosong melompong. Potsdamer Platz sendiri berada di jalur utama Tembok Berlin pernah berdiri, di mana diameter 100 meter di sekitarnya diharuskan kosong. Dan ketika akhirnya pada 1989 Tembok Berlin diruntuhkan, pemerintah segera merencanakan pembangunan area terpadu, mengingat bahwa sebelum didirikannya tembok yang memisahkan Jerman Barat dan Timur setelah Perang Dunia II tersebut, Potsdamer Platz pernah menjadi pusat kegiatan kota Berlin.

Melihat kembali adegan-adegan dalam film Wings of Desire (Wim Wenders, 1987) di mana Tembok Berlin masih berdiri tepat di atas Potsdamer Platz yang wajahnya lebih mirip Tempat Pembuangan Sementara (ketika sampahnya baru saja diangkut), saya hanya bisa terkagum-kagum. Area Potsdamer Platz kini terbangun layaknya downtown sebuah kota baru: denyut nadi utamanya adalah Berlinaleplatz (gedung pertunjukan yang disulap jadi bioskop utama ketika Berlinale berlangsung) dan stasiun utama (Postadamer Bahnhof) yang menghubungkan seluruh Berlin lewat jalur U dan S-nya. Di sekitarnya ada 3 buah bioskop lainnya (Cinemaxx, Cinestar, dan Kino Arsenal), gedung modern berlabel Sony Centre tempat salah satu sekolah film terbaik di Jerman berada, juga Deutsche Kinematek, sebuah museum film yang mengarsip perfilman Jerman dengan sangat komprehensif. Area ini dikeliling hotel, tempat perbelanjaan, dan restoran juga coffeeshop tempat orang rehat dan menghabiskan makan siangnya.

Sepuluh menit berjalan kaki dari Berlinaleplatz, kita sampai di area yang dinamakan Kulturforum Berlin. Tiga bangunan terpenting di area tersebut adalah Chamber Music Hall atau markas besar Berlin Philaharmonic Orchestra, yang konon adalah philaharmonic terbesar di dunia (ya, Vienna pun mengatakan hal yang sama untuk philaharmonic-nya). Di seberangnya, Neue Staatsbibliothek, perpustakaan kota berarsitektur a la sosialis namun berinterior super canggih. Dan di seberang perpustakaan tersebut, Neue Nationalgalerie, arsitektur mahakarya Mies Van der Rohe yang ia rancang di tahun 1966 setelah sempat hengkang ke Amerika di tahun 1933 karena tekanan Nazi.

Kembali ke film. Di hari orientasi kami dibawa simulasi oleh empat escort kami untuk membeli tiket Berlinale. Sistem pemesanan sangat sederhana dan mudah. Semua data film, beserta jam tayangnya tertera baik dalam lembar jadwal harian berwarna hitam putih. Berdasarkan jadwal tersebut kami bisa memilih film apa pun untuk hari itu dan hari esok, hanya dengan menunjukkan badge akreditasi kami. Namun masalah utamanya adalah: kebanyakan film hari itu bahkan hari esok telah habis. Terlebih untuk film-film In Competition yang pastinya paling popular dikejar sana-sini. Saya cek lagi dan lagi. Waste Land, (Lucy Walker, 2010), film dalam program Panorama yang paling ingin saya tonton, tiketnya ludes sudah. Dan besok-besoknya, sama saja.

Berlinale, Rotterdam, Cannes, Venice, Pusan
Walaupun tidak berhasil mendapatkan tiket atas beberapa film incaran, saya tetap semangat. Memang, bisa saja saya bangun pukul 7 pagi setiap harinya untuk cepat-cepat mengantri tiket ke Potsdamer Platz, tapi tubuh saya tidak dirancang sebagai manusia pagi hari. Toh saya datang ke Berlin tidak untuk melihat Waste Land, tapi Wonder Land (halah!).

Perlahan-lahan saya jadi tahu apa sebenarnya yang membedakan lima film festival yang saya sebut sebagai sub judul di atas. Berlinale, yang tahun ini merayakan ultahnya yang ke-60, dirancang sebagai sebuah film festival berorientasi publik. Ketidakberhasilan saya sebagai pemegang badge akreditasi untuk mendapatkan beberapa film adalah bagian dari usaha Berlinale mendahulukan publik. Saya dengar, hanya maksimum 30 persen tiket film dialokasikan bagi pemegang badge (undangan khusus seperti kami, atau para pembuat film, distributor). Sedangkan orang-orang media memiliki badge tipe lain, yang dapat dipakai untuk menonton pemutaran khusus. Saya sempat tersenyum geli ketika Martin, salah satu escort kami mengatakan bahwa ibunya lebih sukses mendapatkan tiket (dengan mengantri dan membayar di loket umum) ketimbang dirinya yang memegang badge akreditasi. Di Berlinale, pemegang badge pun harus sungguh-sungguh berusaha (baca: bangun pagi) untuk menonton film yang benar-benar ingin ia tonton.

Dari segi keberpihakan pada publik, Berlinale mirip dengan Rotterdam dan Pusan International Film Festival. Untuk membuktikannya, silakan cari saja di internet, foto-foto festival Berlinale, Rotterdam dan Pusan memperlihatkan bagaimana publik mengantri mengular layaknya masuk ke Taman Impian Jaya Ancol di hari Idul Fitri. Sedangkan Cannes dan Venice adalah dua festival film yang lebih eksklusif dengan mengutamakan kehadiran media dan sales/distributor ketimbang publik. Namun, satu perbedaan Berlinale dengan Rotterdam adalah kehadiran selebiriti dan orang-orang penting. Berlinale cukup peduli dalam memajang wajah-wajah rupawan dan sohor ketimbang Rotterdam yang tampaknya sama sekali tidak peduli akan hal ini.

Di luar masalah imej selebritas, jelas bahwa Berlinale dan Rotterdam berusaha untuk membumikan film, sedangkan Cannes dan Venice mengagungkan film. Apa pun jalur yang diambil, saya pikir film festival sah adanya asal mereka konsisten terhadap konsep yang mereka usung, dan selama mereka melakukan pemutaran film-film terpilih mereka. Academy Award yang tidak memiliki agenda pemutaran film menjadi sah karena mereka tidak menggunakan kata ‘film festival’. Sudut pandang inilah yang membuat saya menganggap Festival Film Indonesia tidak sah dan banci. Sebuah festival film harus berani mengedepankan program dan mempertontonkan program tersebut pada khalayak ramai sebagai bentuk pertanggungjawaban.

Program Berlinale
Berbicara tentang program, kami sangat beruntung mendapatkan waktu khusus untuk berbincang dengan programmer Berlinale, Wieland Speck dan Dorothee Wenner. Acara formal yang berlangsung di sebuah ruangan kecil Goethe Institut, cukup menjawab rasa penasaran kami atas dasar rancangan program yang dilakukan oleh Berlinale. Secara general, terdapat 4 program utama pemutaran film:
1. In Competition 2. Panorama 3. Forum 4. Generation (dan Generation 14Plus), dengan tambahan program:
5. Perspektive Deutsches Kino (Pemutaran film-film Produksi Jerman) 6. Hommage (tahun ini menampilkan film-film Hanna Schygulla dan Wofgang Kohlhaase).
Dan dalam ulang tahunnya yang ke-60, Berlinale menampilkan beberapa program khusus pemutaran film yaitu: 7. Play It Again (pemutaran kembali film-film lama), beserta: 8. Pameran-pameran karya seni yang berhubungan dengan gambar bergerak di beberapa galeri.

Di luar acara film, program khusus Berlinale meliputi:
9. Berlinale Talent Campus (yang setiap tahunnya mengundang produser/sutradara/penulis script/programmer muda untuk berkumpul, belajar, dan berbagi pengalaman bersama), 10. European Film Market (di mana distributor/sales/filmmaker berkumpul mengolah potensi distribusi film mereka) 11. Berlinale Co-production Market dan World Cinema Fund (alias pendanaan film dengan basis co-produksi Jerman –saya akan membahas ini lebih lanjut).

Saya pikir, program Berlinale telah berhasil menyentuh hampir seluruh aspek dalam proses karya film. Kita tahu bahwa film bukan hanya sebuah karya produksi, tapi juga penggelontoran ide (penulisan skenario), dan pendistribusian (sosialisasi). Berlinale, adalah sebuah festival film raksasa yang mampu mencoba untuk terus menjangkarkan dirinya pada dasar-dasar penting proses ini. Berlinale Talent Campus yang tahun ini masuk tahun ke-delapan, menjadi pangkal festival (saya menganalogikannya sebagai peletakkan pondasi luncur). Di sini orang-orang muda berbakat dikumpulkan dan diajak berproses bersama. Core Berlinale sendiri yaitu pemutaran film (tahun ini berjumlah 400 film) berlaku sebagai bagian dari upaya pengsosialisasian (atau upaya peluncuran). Usaha itu tidak berhenti begitu saja di festival ini, namun dilanjutkan di dalam Market, di mana sebuah film diberi kesempatan untuk bisa hidup lebih lama melalui kemungkinan distribusi dan penjualan di seluruh penjuru dunia (yang telah meluncur agar tetap meluncur di jalur yang tepat).

Selain itu, untuk mengisi pundi-pundi produksi film, Co-Production Market dan World Cinema Fund yang didukung oleh pemerintah Jerman memberi kesempatan dua kali setahun bagi para filmmaker untuk menyelesaikan produksi mereka (dengan bantuan dana). Namun produksi ini memiliki syarat: mereka harus bekerja sama dengan co-producer yang berbasis di Jerman.

Dorothee dan Wieland menjelaskan keseluruhan program utama dengan jelas dan tegas. Hingga tahun 1960 awal, ternyata Berlinale hanya memiliki program In Competition (yang secara tradisi, pemilihannya dilakukan oleh direktur festival). Hingga menjelang dekade ’70-an ketika perang Vietnam berkecamuk dan terjadi pemberontakan sosialis di Perancis, timbul silang pendapat antar tim festival ketika banyak orang mengeluhkan bahwa jalur pandang Berlinale kian condong ke arah kiri. Padahal, pada kenyataannya, film-film bagus yang beredar saat itu memang banyak berhaluan kiri.

Dengan pertimbangan arah festival yang ingin lebih bercitra netral (dari segi sudut pandang politik), dirancanglah sebuah program bernama lengkap The International Forum of New Cinema, atau pendeknya: Forum. Dalam program ini, kita bisa melihat film-film yang secara politis maupun secara bentuk kekiri-kirian, nyeleneh, eksperimental. Pendeknya, di sinilah segala genre film bersatu, atau film-film tanpa genre yang jelas bisa unjuk gigi, mulai dari dokumenter, seni video, hingga gabungan seni pertunjukan. Dorothee mengatakan bahwa baginya, Forum adalah program terpenting dalam Berlinale. Ia ingin menekankan bahwa di luar film-film glamor Hollywood dan papan atas Eropa, denyut sinema sebenarnya digerakkan oleh semangat anak-anak muda dari seluruh pelosok dunia. Tahun 2010 ini, Forum banyak menampilkan film-film Afrika dengan estetiknya yang mentah, namun berani dalam bertutur.

Maka wajar saja jika kita melihat begitu jauhnya perbedaan antara film-film dalam program In Competition dan Forum. Sejak awal didirikan, In Competition lebih mengutamakan film-film yang memiliki nilai komersil tinggi (untuk kepentingan meraup publik luas), sedangkan Forum sebaliknya. Nah, di tengah keduanya inilah, Panorama berada. Wieland Speck yang telah mengepalai program Panorama sejak 1992 bercerita bahwa Panorama adalah layaknya etalase utama Berlinale. Dari keseluruhan 400 film, 60 film panjang masuk ke dalam program ini. Panorama, layaknya sebuah kapal pesiar besar, membawa penumpangnya mengitari seluruh dunia, berkenalan dengan problematika kemanusiaan dari masing-masing tempat. Panorama sendiri terdiri dari film-film panjang fiksi dan dokumenter (feature length).

Dari sisi pemutaran program film utama, Berlinale saya anggap jeli dalam memasukkan program khusus film-film anak (dan beberapa tahun kebelakang ini, film-film remaja) dalam program Generation dan Generation 14plus-nya. Dorothee mengatakan bahwa regenerasi tidak hanya harus terjadi pada pembuat film tersebut sendiri, tetapi juga pada penikmat filmnya.

Saya membayangkan, dengan umur dan reputasi papan atas, programming pastilah bukan pekerjaan yang mudah bagi Berlinale. Dorothee dan Wieland mengatakan bahwa setiap tahunnya mereka menerima hampir 6000 pendaftaran film. Seluruh film tentunya harus ditonton, dan tim programming biasanya memiliki beberapa orang staf yang salah satu tugasnya adalah menyeleksi film-film di tingkat awal. Selain menunggu datangnya pendaftaran film, Dorothee dan Wieland biasanya menghabiskan waktu 3-4 bulan untuk berkeliling dunia mencari film yang cocok ditayangkan di Berlinale. Kegiatan tersebut biasanya telah dimulai di bulan Juni. Ketika salah seorang teman saya bertanya, apa gak pusing menonton begitu banyak film? Wieland menjawab, karena itulah, selama tiga bulan setelah festival saya menolak melihat tidak hanya TV atau film, tapi apapun yang bergerak!

Haluan Program Berlinale
Menonton film-film yang terseleksi dalam Berlinale tentunya jauh berbeda dari film-film pilihan Cannes atau Venice. Sesuai haluan, saya pikir Berlinale sangat konsisten dalam mempertahankan program yang humanis, dan cenderung politis. Secara selera pribadi saya akan lebih memilih film-film pilihan Cannes sebagai tontonan ketimbang film-film pilihan Berlinale. Namun saya menghargai haluan yang diusung Berlinale sepenuhnya, yang sebenarnya sangat berakar pada keadaan politik Eropa, Jerman, dan terutama kota Berlin itu sendiri. Semakin saya mendalami sejarah kota Berlin, semakin saya mengerti haluan program Berlinale.

Dalam kata sambutannya, sang direktur festival Dieter Kosslick mengatakan bahwa Berlinale adalah sebuah film festival yang tidak akan pernah melupakan cangkangnya, yaitu Berlin. Kota yang baginya adalah sebuah simbol rasa bersalah dan keterbelahan sistem. Maka Berlinale, masih menurut Dieter Kosslick, adalah ruang bagi sinema intelektual yang diperuntukkan untuk nalar, sekaligus rasa. Dan memang begitulah seharusnya sebuah film dimaknai.

Co-Production dan World Cinema Fund
Di pertengahan kunjungan, kami sempat dipertemukan dengan Sonja Heinen dan Vincenzo Bugno, dua orang dengan jabatan tertinggi di World Cinema Fund, yang sejak 2004 membantu memproduksi film-film dari negara berkembang. Awalnya WCF hanya mendukung negara-negara dalam cakupan Amerika Latin, Timur Tengah, Asia Tengah. Namun sejak 2007 mereka memperluan bantuan ini ke negara-negara Asia Tenggara (termasuk Indonesia).

Sonja dan Vincenzo yang luar biasa ramah ini dengan penuh semangat bercerita bagaimana setiap tahunnya mereka selalu berharap mendapatkan naskah-naskah film terbaik dari negara-negara berkembang. Dana yang mereka kucurkan cukup jelas:
1. Dana Produksi hingga 100,000 Euro (1,3 miliar rupiah) dalam proyek film yang berbujet 200,000 – 1,000,000 Euro (2,6 miliar – 13 miliar rupiah), dengan catatan bahwa seluruh biaya produksi harus dihabiskan di negara tempat kita memproduksi film tersebut.
2. Dana Distribusi hingga 15,000 Euro (190 juta rupiah), dengan catatan bahwa dana tersebut dipakai untuk mendistribusikan film kita di Jerman.

Namun syarat utama yang seringkali membuat pembuat film dua kali berpikir adalah, WCF mengharuskan kita untuk memiliki partner usaha produksi (co-producer) yang berbasis di Jerman. Alasannya sangat masuk akal, yaitu untuk mempermudah dan menjamin administrasi, mengingat jumlah dana yang mereka kucurkan tidaklah kecil. Sonja menambahkan bahwa terkadang WCF dengan senang hati membantu kita mencarikan partner yang cocok di Jerman (bila kita tidak berhasil mendapatkannya sendiri), dengan syarat utama: WCF harus cinta setengah mati pada proyek yang kita ajukan.

Mengenai kriteria naskah atau tipe proyek yang mereka prioritaskan, Sonja dan Vincenzio menekankan bahwa mereka mengutamakan film-film yang ‘extreme art house‘, alias tipe-tipe film yang berani, berstatement jelas, sama sekali tidak memperhitungkan nilai komersil, namun tetap dalam jalur formatif. Ingatlah, bahwa semua uang yang mereka berikan ini tidak perlu kita kembalikan, dan oleh karenanya dalam proposal kita hanya perlu melampirkan Financial Plan, tapi bukan Business Plan (karena toh mereka tidak melihat film-film ini memiliki nilai jual).

Proyek-proyek tabu dalam WCF adalah tipe proyek yang dibuat oleh/dengan mata ‘orang luar’ (dalam melihat sebuah topik/permasalahan). Mereka menginginkan cerita yang tulus, dan dibuat dengan sedekat mungkin. Apabila kita tilik film-film peraih WCF sejauh ini, sebenarnya tidak jauh berbeda dari jenis-jenis film yang ditayangkan di Berlinale: humanis, politis. Mereka mengambil contoh salah satu film yang memenangkan Golden Bear tahun 2009 yaitu The Milk of Sorrow (La Teta Asustada, Claudia Llosa), sebuah film yang bercerita tentang mitos trauma para perempuan Peru yang diakibatkan oleh rentetan kejadian pemerkosaan oleh militer di dekade 1980-an.

Contoh film lain yang mendapatkan bantuan dari WCF adalah Ajami (Scandar Copti & Yaron Shani, 2009 –ditayangkan perdana di Cannes Film Festival 2009) yang berkisah tentang kehidupan bertetangga penuh konflik agama, ras, dan antar generasi di kota Jaffa, perbatasan antara Palestina dan Israel. Kedua film di atas memang dianggap memiliki pernyataan yang sangat kuat dan jelas. Dan bukanlah kebetulan bila keduanya masuk dalam nominasi Best Foreign Film dalam ajang Academy Awards 2010 ini; sebuah prestasi yang luar biasa bagi tim World Cinema Fund.

Mengakhiri perbincangan kami, Sonja dan Vincenzo memberikan wejangan-wejangan khusus. Bagi mereka yang ingin mengirimkan proposal (tenggat waktu setahun dua kali yaitu Maret dan Agustus setiap tahunnya), secara teknis perlu diingat dua hal:
1. Kirim kami skenario selengkap-lengkapnya, bukan treatment atau ide proyek
2. Berikan kami gambaran secara detail, seperti apakah film yang akan kami tonton nanti? Dengan kata lain, kirimkan selengkap-lengkapnya treatment visual dari sang sutradara. Karena kami akan lebih mendahulukan sebuah film dengan visi sutradara yang kuat, jelas.
Sonja dan Vincenzo juga menganjurkan siapa pun untuk tidak sungkan-sungkan bertanya dan meng-email mereka, karena tanpa partisipasi kita, mereka akan segera putus kerja! Untuk informasi lebih lanjut silakan kunjungi ini.

Film, Pengarsipan, Pariwisata
Bagi saya, hanya ada dua alasan kenapa sebuah negara tidak bisa melihat potensi pariwisata dari perfilman negerinya: yaitu karena mereka miskin, atau bodoh. Beberapa orang bilang masalah utamanya adalah ketidakpedulian, bagi saya tidak peduli itu adalah buah utama kebodohan. Hal termudah yang dapat dilakukan oleh suatu pemerintahan untuk mulai menggali dua hal tersebut sebenarnya sangat sederhana, yaitu pengarsipan yang rapi dan menyeluruh. Jika pengarsipan telah ditangani dengan benar, tunjuklah seorang ahli pemasaran yang mengerti benar seni dan budaya kontemporer. Kontemporer ini penting, karena film bagaimanapun tidak bisa disamakan dengan seni tradisi yang berakar dari budaya masyarakat setempat. Kedua hal ini tentunya membutuhkan pengolahan yang berbeda.

Di Senin pagi yang dingin, kami dibawa dalam sebuah acara jalan-jalan: Video Bus Tour. Dan benar saja kata Nicholas, salah satu escort kami, don’t miss it, it’s fun! Selama dua jam kami dibawa jalan-jalan berkeliling Berlin, berangkat dari depan hotel kami di Friedrichstrasse, dan berakhir di Potsdamer Platz. Semua tur dilakukan dalam bus (cocok untuk cuaca yang saat itu kurang bersahabat) dengan tim seorang supir dan pemandu tur yang ternyata bergelar master dalam bidang sejarah Jerman. Petualangan kami dibantu beberapa set televisi.

Teknis bus tour ini sangat sederhana: bus berjalan, sang pemandu bermonolog tentang cuplikan sejarah area kami berada. Lalu bus berhenti di suatu tempat. Pemandu kembali bercerita, kali ini sambil menayangkan cuplikan film tertentu, di mana set yang dipakai berada di sekitar kami. Sebagai contoh, kami berhenti di depan sebuah hotel tempat salah satu pengambilan gambar Run Lola Run (1998), di mana di dalam film tersebut, hotel digubah menjadi bank. Kita dibawa mengitari gedung pemerintahan (Valkyrie, 2008), area-area semi publik seperti bioskop dan restoran (Bourne Supremacy, 2004), stasiun kereta (The International, 2009), hingga apartemen-apartemen di daerah bekas Jerman Timur (Good Bye Lenin!, 2003 dan The Lives of Others, 2006).

Salah satu tayangan mencengangkan adalah cuplikan footage kota Berlin yang habis digempur tentara saat Perang Dunia II. Footage itu diambil Billy Wilder ketika ia sedang terbang dari AS menuju Berlin untuk pembuatan filmnya bersama Marlene Dietrich (A Foreign Affair, 1948). Melihat footage tersebut, lalu kembali melihat ke luar jendela, saya hanya bisa bergumam sendiri, beginilah itikad dan usaha sebuah kota untuk bisa bangkit dari keadaan mental hampir nol. Bagi saya, kota Berlin masa kini mengenal dan mengerti benar siapa penduduknya, apa kebutuhan mereka. Hasilnya adalah sebuah kota yang mengutamakan kenyamanan publik: transportasi (salah satu moda transportasi ternyaman yang pernah saya gunakan), akomodasi (apartemen sederhana yang tertata rapi), dan ruang bagi aspirasi rakyat (taman kota, gedung seni dan budaya, hingga ruang-ruang rekreasi).

Berlin bukanlah kota pariwisata. Ia lebih mirip kota nostalgik yang begitu bersemangat mempermuda dirinya. Pemerintah daerah mengerti benar celah-celah yang bisa dipakai untuk terus mempromosikan kota bersejarah ini, tidak hanya untuk meningkatkan potensi digunakannya Berlin sebagai setting film-film internasional, tapi penanaman pentingnya pemahaman sejarah bagi siapa pun yang menginjakkan kaki di atasnya. Dan film berperan sangat besar.

Kami juga berkesempatan untuk mendatangi Deutsche Kinematek yang berlokasi di gedung Sony Centre, Potsdamer Platz. Siapa pun yang masuk ke dalamnya pasti akan tercengang dengan interior mutakhir yang setengah melayangkan kita ke dimensi lain. Namun kecanggihan interior tersebut bukanlah apa-apa ketimbang isi museum itu sendiri. Deutsche Kinematek memfokuskan diri pada pengarsipan dan eksibisi film-film Jerman, khususnya sebelum PD II. Bahkan Marlene Dietrich menyumbangkan seluruh atribut dan dokumentasi kariernya ke musem tersebut. Hanya beberapa ruang sekilas bercerita tentang film-film German New Wave, seperti film-film Werner Herzog, Alexander Kluge, Rainer Fassbinder, dan Wim Wenders. Sebagian besar isi museum bercerita tentang masa awal perfilman Jerman, yaitu German Expressionism.

Di dalam museum saya kembali mempelajari sejarah Jerman yang menyesakkan. Dalam suatu ruangan khusus, dokumentasi film-film propaganda Nazi memenuhi laci-laci yang harus kita buka satu per satunya. Di sudut ruangan tersebut, foto-foto film Olympia karya Leni Riefenstahl (berisi dokumentasi Olimpiade 1936) terpampang lengkap dengan mock up stadium-nya. Ruangan tersebut agaknya ingin cepat-cepat dilalui oleh pemandu kami. Ia bercerita singkat saja tentang film Olympia yang baginya tidak lebih dari sekadar propaganda. Dua orang teman saya yang sama-sama orang Estonia kompak berujar, “But Olympia is a great film. It is a propaganda, but still, a very good film“. Perbincangan berlanjut beberapa menit, dengan adu pendapat yang terus berkutat pada hal yang sama. Memang tidak mudah, saya pikir, melupakan masa lalu. Terutama jika masa lalu itu begitu kelam.

Jerman, Masa Lalu, Masa Kini
Sebelum mengunjungi Berlin, saya memang tidak pernah berpikir (atau bahkan menduga) bahwa sebuah negara sekokoh Jerman masih saja menyimpan trauma akan masa lalu. Walau jika dipikir-pikir, saya mengakui bahwa saya pun masih memiliki stereotip negatif tertentu atas orang Jerman. Tapi saya selalu menganggap bahwa pikiran stereotip itu hadir sebagai bahan tawa belaka (bukankah dengan bercanda kita memaafkan?) Perkataan Dieter Kosslick, direktur festival Berlinale yang mengatakan bahwa Berlin adalah simbol rasa bersalah dan keterpecahan sistem menjadi sangat masuk akal. Perlakuan Nazi yang ekstra kejam terhadap orang-orang Yahudi menjadi momok yang menghantui orang-orang Jerman ke mana pun mereka pergi, hingga saat ini.

Begitu pekanya rasa bersalah itu, Martin Jabs, salah satu escort kami mengatakan: kebanyakan orang Jerman yang tinggal di Berlin akan mengatakan: “I’m proud to be from Berlin, I’m proud to be European, but I’m not proud to be German”. Saya sempat berpikir saya salah dengar. Bukankah orang-orang Jerman adalah orang-orang yang begitu yakin dan bangga dengan dirinya, dengan kekuatan negaranya, dengan bahasanya, budaya, bahkan kulinernya (ya, susis Jerman adalah susis terenak di dunia!). Martin mengulangi lagi pernyataannya itu, dan saya mengerti. Itulah mengapa film Inglorious Basterds (Quentin Tarantino, 2009) begitu dielu-elukan di Jerman: Hitler mati, di tangan orang-orang Jerman sendiri (well ya, dengan bantuan American bastards).

Tanpa rasa kemanusiaan yang besar (salah satunya, mungkin, rasa bersalah), saya pikir Berlinale tidak mungkin menginjakkan kakinya di ulang tahunnya yang ke-60 dengan rasa sepercaya diri ini. Berlinale mungkin memiliki agenda politis, dan itu menjadi sangat tepat. Di dalam festival semacam Berlinale kita (diajak) mengerti mengapa kisah-kisah perjuangan kemanusiaan menjadi sangat penting. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *