Kota dan Sinema

Seperti layaknya tubuh manusia yang hidup dengan aliran darah dan denyut jantung, sebuah kota terbentuk akibat adanya pergerakan manusia-manusianya. Tidak heran jika ciri kota sangatlah ditentukan oleh perilaku masyarakatnya: situasi dan kondisi lingkungan, tata letak/rancang kota, sistem transportasi, dan terutama sistem tata niaga setempat . Seperti halnya kota-kota pesisir pantai seperti Semarang, Batavia, Penang, Lisboa, kota-kota tersebut terbentuk pertama kalinya sebagai area penghubung perdagangan antar daerah. Barang-barang yang dipertukarkan di daerah pesisir kemudian dibawa untuk dipertukarkan kembali di daerah-daerah lain yang letaknya lebih terpencil / jauh dari area perdangangan terbuka. Dengan adanya support barang dari luar, industri lokal yang kebanyakan berupa industri pengolahan sumber daya alam setempat, dapat meningkatkan daya produksinya. Daerah-daerah ini kemudian perlahan berubah fungsi dari daerah produsen menjadi daerah pengolah, lalu penjual. Di saat itulah masyarakat luar mulai berdatangan untuk melakukan transaksi jual-beli.

Masing-masing daerah terus berkembang hingga suatu saat mereka mencapai kemandirian di mana mereka mampu mencukupi kebutuhannya sendiri. Dalam hal ini masyarakat telah mampu membangun jaringan ke luar daerah: dan pergerakan masyarakat antar daerah pun berkembang sesuai dengan laju pergerakan barang. Perilaku masyarakat mandiri ini cenderung untuk terus bertahan hingga suatu perabadan, secara cepat maupun perlahan, masuk ke daerah tersebut. Peradaban baru ini dapat masuk secara paksa (seperti penjajahan) maupun tanpa paksa seperti lahirnya era modern yang revolusioner di akhir abad 19. Dengan teknologi dan kemudahannya modernitas meningkatkan pergerakan manusia, namun derasnya adrenalin tidak selalu dibarengi oleh kapasitas organ manusia. Di jaman dan dalam setting kemanusiaan vs modernitas inilah sinema lahir, dan hidup subur hingga hari ini.

400 Blows (Truffaut), Manhattan (Woody Allen), Yi yi (Edward Yang)

Walaupun tidak selalu menjadi tema utama dalam film, kota adalah bagian yang tak pernah terpisahkan dari sinema. Selain waktu, tempat dan ruang adalah unsur utama pembentuk plot cerita. Sebuah tempat, ruang, atau setting dalam sinema merupakan bagian kecil dari β€˜settingnya yang lebih besar’, yaitu kota. Tidak jarang kita menemukan film-film dengan penekanan ciri khas kota dan karakter-karakter pembentuknya (film-film dan karakter Woody Allen yang New York bangetFranΓ§ois Truffaut yang Paris bangetEdward Yang yang Taipei banget).

Jika kota terbentuk secara spontan sejak budaya perdagangan menjamah kota-kota Eropa di awal milenium pertama, teknologi film baru ditemukan di akhir abad 19 bersamaan dengan merebaknya modernism (lagi-lagi) di Eropa. Ketika itu Lumiere Brothers sebagai orang-orang pertama yang mempopulerkan kamera film di tengah masyarakat luas tidak pernah berhenti bereksperimen menangkap momen dalam gambar (baca: bersinematografi) dengan mengunjungi kota-kota di seluruh dunia, hingga ke pelosok India dan Cina.

Namun baru sekitar dekade 1920-an muncul film-film bertemakan urban. Dziga Vertov dengan β€œThe Man with the Movie Cameraβ€œ, Sergei Eisenstein dengan β€œStrikeβ€œ, Walter Ruttman dengan β€œBerlin, the Symphony of a Great City” tidak lagi sekadar menangkap momen-momen yang terjadi di kota mereka, tetapi mulai menggunakan kota sebagai setting utama film-film mereka, bahkan meredefinisi hakikat kota sebagai pondasi kehidupan sosial masyarakatnya.

Dengan filmnya Vertov mempertanyakan kembali perbedaan dan kesamaan realita yang dilihatnya dengan dan tanpa kamera film. Tentang filmnya, ia berkomentar: β€˜ Aku adalah mata kamera. Aku, sebuah mesin, hendak memperkenalkan kembali pada dunia, hal-hal yang sehari-hari hanya dapat diβ€˜lihat’ dengan mata. Sejak saat ini, aku bebas bergerak. Aku bergerak mendekati dan menjauhi segalanya, aku merangkak di bawah mereka, di atas mereka. Jalan yang kutempuh membawa manusia menuju sebuah kreasi dengan persepsi yang benar-benar baru tentang dunia. Aku, dapat dikatakan, menciptakan sebuah dunia yang tak pernah ada sebelumnya.”

The Man with the Movie Camera, Dziga Vertov, 1929

Sedangkan Walter Ruttman dan Sergei Eisenstein (Ruttman dengan kota Berlin, dan Eisenstein dengan St. Petersburg) berusaha untuk menampilkan modernitas, produktifitas, dan dinamika kota dan masyarakatnya dengan penggunaan teknik montage bertempo cepat. Berbagai isme estetis yang marak di dunia internasional saat itu, dari Futurisme Italia hingga Suprematisme Rusia, tampak jelas mempengaruhi film-film yang beredar di dekade ini.

Berlin: The Symphony of a Great City, Walter Ruttman, 1927

Lalu Perang Dunia II merubah segalanya. Amerika yang saat itu telah dikukuhkan sebagai the First World mulai menapakkan kakinya di dunia dengan menciptakan jaringan-jaringan ekonomi internasionalnya. Keberhasilannya dalam meningkatkan harkat martabat manusia sebagian orang menambah buruk banyak yang lainnya. Kemiskinan dan kecemburuan sosial merajalela justru di tengah industri sedang kembali marak-maraknya setelah terpuruk akibat Perang Dunia I.

Tema keterasingan manusia di tengah perkembangan dunia kapitalis yang seakan tidak pernah lelah berlari mengejar masa depan ini menjadi tema utama film-film di Eropa hingga akhir 1940an: gerakan poetic realism di Perancis, neo-realism di Italia. Pergerakan semacam kembali diproduksi di dekade 50-60an oleh tangan-tangan sineas muda French New Wave, disusul dengan New German Cinema, Italian dan British New Wave. Walaupun hanya hidup selama dua dekade, tidak sedikit pengaruh yang diberikan oleh para sutradara muda ini. Film-film mereka bersifat revolusioner, malah terkadang terasa militan. Dunia dongeng romantis yang dielu-elukan film-film klasik Amerika di tahun 1930-1940an ini tiba-tiba diambil-alih oleh film-film counter-cinema dengan penggambaran dunianya yang kelam yang disesakki oleh deru kendaraan bermotor, baku tembak, dan egoisitas manusia. Menonton film-film ini, kita seakan diingatkan kembali pada dunia dan kemurtadannya.

Kegelisahan serupa yang terjadi empat puluh tahun lalu di Eropa, mulai merambat ke negara-negara dunia ketiga di dekade 80-an. Tema-tema keterasingan manusia di tengah hiruk pikuk modernitas kini seringkali menjadi tema film-film Latin Amerika, Cina, Afrika, Iran, hingga sinema Asia, setelah beberapa dekade sebelumnya (dekade 50 – 70an) lebih banyak mengeluarkan film-film anti-kolonialisme.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *